Episode 3 : Sebuah Kali

Pada pagi seperti ini
Semoga jernih aku bersiut menuruni bukit
melompat di antara batu-batu kali
yang licinnya memantulkan sesuatu
resah yang terperangkap jeram dan keramba
dalam singup dingin

Nelayan yang semalam menyalakan api
cahyanya yang keemasan berkejap menari-nari
melewati kontur tepi beranda
tempat kau mencari ikan duyung
dan menyebut nama-nama
dalam igau kau menjelma doa

Dan pagi yang dingin seperti ini
kali akan terus mengalirkan bibit mimpi
dan kabut akan menyergapmu perlahan
hingga kau tak tahu apakah arus surut ataukah pasang
atau apakah nelayan itu masih berdiri
atau padam

Sedang aku melompat dari batu ke batu
sedang aku memanggul dingin yang sangat
sedang risik arus menderau ke barat
menghablur menyamarkan tangisku

The Art of Apprehensive

Pain is inevitable, but suffer is an option

In the end of the year, i experienced several things which is not good thing actually. But i still had a good thought to God. Like in college, it was my final semester exam. The different is u can’t cheat.

First, i had a tootache in the first last week. Due my indolent for brushing my teeth regularly, i’d got a big hole at my rear molar. I meant : a great hole with a great pain. My nerve was rocked. If u had to choose whether u had a tootache or a broken heart then i will chuz the last.
My plan was had a dentist examine it after i arrived in Jogja, since I planned to go home in the end of the year. The only reason was it is cheaper while in my hometown. Jakarta isn’t a friendly city for sick people. So i chose to stay and bear all the pain and fasting during the week. Ate cereal and corn flakes instead of rice.

Second, I went home with economic class train. It was my ‘proyek iseng-iseng’ to try it. According to Nita and Masri experiences, it was quite OK (in capitalized letter) for riding the economic train. And it was far cheaper from regular ticket. And it was suitable for me for forgetting my pain. But they didn’t mention of ‘exception moment’ like New Year Eve combined with Idul Adha. I can’t tell u what exactly happened inside there due to the very tragical time i had. U can imagine that for now i still traumatic for riding economic train again… yet. The bright side was i know my resistance is. Like stood with no space for enough movement for about 8 hours! Then i know my limit. Hell yeah…!

It was several events i’ve enjoyed during my last year ceremony. And when i came back to Jakarta i did my revenge : I used flight! Actually, i want an executive class train but it sold out. Everybody went back to Jakarta, although i already took a leave.  And it’s not the end of the story. Flight was not a good choice. First i booked Lion Air, but the girl  at next line moved me to another flight line. It was Adam Air. Yeah, the flight which has crashed in Jan 1st and the next day i would flight with it. At that time i didn’t feel anything, coz i neither read news paper nor watch TV. Then i knew it in the day i would doing my flight. I flew with thousand of worries in my mind. But, thanx God i’d arrived in Jakarta safely then.

In this hopefully new year i hope i can learn wisely from my past experiences.

Episode 2 : Episode Baru

Di antara tahun buruk dan maya
Saya mencoba mengenalinya

Senja Wangi Lembayung

Pagi ini saya lembur. Deadline kerjaan menuntut saya terus berjalan. Dan senja tadi indah sekali. Melihat ke barat, kok saya jadi terharu *berkaca-kaca*. Jakarta minggu terakhir ini seperti disekap kelambu kelabu. Musim yang letih. Tapi, senja tadi bersemburat lembayung. Saya bersyukur sekali karena aura itu mengantarkan saya beristirahat sejenak dari tekanan yang mengkungkung.

Semalam saya nonton Jiffest. Vero screening film documenternya Death in Jakarta. Trus tidur jam setengah 2 pagi. Lalu bangun jam 10 pagi, aduhh! Saya telat ngantor! Tapi syukurlah teman-teman kantor adalah kumpulan orang baik hati dan cukup toleransi. Dan jadinya sekarang saya terus berjalan mengejar deadline. Sabtu dan Minggu ini terpaksa tak ada jalan-jalan. Pagi ini saya masih bercinta dengan kompi. Tapi senja tadi bening sekali.
Saya menghirupnya dalam-dalam. Seperti aroma kopi. Wangi.

Izzy Jazzy

JakJazz 06 Ad

 

(from JakJazz – 26 Nov 2006, Istora Senayan)

To the Shakatak which i didn’t ever see u : Nevermind!

I came lately with Owi but i still saw some remarkable show.

First, i headed to Betawi Terrace at second floor, for Deti and her sister had been watching over there before. And also I want to hear west composition. At the stage : a Singapore pianist – The Jeremy Montero and two-time Grammy Award winner – Ernie Watts played intense jazz soul with beautifully improvisation. The saxophone master who has recorded more then 500 songs over his music career seems not too bad opening my attending here. Relieving!

Gilang, Indra Lesmana and Pra (P.I.G) played so hard until i couldnt get it. Maybe it’s a wonderful composition for Jazzer maniacs, but not me … :P. It’s too complex. So I went to Ondel-ondel Stage – the biggest outdoor stage – for Dwiki Dharmawan was playing amusingly with his “World Peace Project”. He played with white keyboard-guitar (or so called keytar) style (maybe Roland AX-7?) like Car Park North. So fast as he looked like a guitar player. Wowh!!

… continue reading this entry.

Remembrance is A Gift

Then i can deal with one of bitter faith : the worse thing in ur life is when u dont know who u are.

[2004] Jogja. It was a busy and tiring day. Several events had to be arranged, managed and run in successfully and efficiently. We were used not to let a tiny single thing is unpredictable. Surely, we so tired. It’s only spirit and a bunch of adrenalin which made us still moved on and on. In the frame of professionality, we push our limit … ^^

It was a dark day. And she gone to home late nite. And the road was dark and far away. Her home was far enough from our office. Then it happened. She got an accident on the way she back home. She was hit by a drunken motorcycle rider. The rider whose doesnt know how to differentiate where is right or left and what is life and death. Seems very unfair, but God has plans.

She had comma for several dayz and had to be nursed in hospital for weekz. She looked so fragile and pale and thin. Then I knew something, she got an amnesia due for great shocked head at the accident. She couldnt remember anything. Can u imagine : who am I? The drunken rider was asking for friend for forgetting his troubles. But she didnt want it at all. Hail Drunker, go to hell w/ urself, dont asking others!

It was a gloomiest moment in her life. Time was running slowly and cruely. She couldnt remember her name, her parents, her friends, where her home was. She forgot name of trees and flower, name of colours and taste, and everything of her nice and pain past. Everything vanished.

… continue reading this entry.

Episode 1 : Percakapan di Sebuah Lembah yang Kau Datangi Pagi Tadi

Sebuah HP berbunyi.

“Halo, Tuhan?”

Suara yang lembut.

“Maaf saya nggak bisa.”

Tertawa kecil.

“Tapi begitu senggang akan saya sempatkan kok…”

“Ya, benar. Akan saya sempatkan buat senggang.”

“Saya benar2. Benar2 saya tidak bisa.”

“Sekarang, saya nggak….”

“Apa?…putus-putus…”

“Ya.. gimana .. halo..nggak jelas.. sinyalnya lagi nggak bagus..”

Suara di seberang memanggil…

“Halo…halooo… apa? Putus-putus…!!”

Suara di seberang memanggil-manggil.

Sebuah tombol warna merah yang ditekan.

Telepon usai.

Saya menggigil.

Suara di dalam

memanggil-manggil.

Freedom of Information

Antena dari kaleng Khong Guan

“Freedom is taken. Freedom is never given”
Wolfgang Coy

Setelah papah Onno berdarah2 memperjuangkannya bersama seluruh rakyat telko dan non telko selama 12 tahun akhirnya ‘tapis’ pemerintah tembus juga. Mulai Januari 2007, frekuensi 2,4 GHz bisa bebas lisensi ! (baca Kompas). Asal tahu aja, nih frekuensi sejak bertahun2 yg lalu ‘dicuri berjamaah’ oleh rakyat utk warnet (yg wireless), RTRW net, dll. Onno dan kawan2 memprakarsai berdirinya RebelNet untuk menyediakan akses internet murah meriah ke lebih dari 1500 sekolah, 2000 cybercafe dan 2500 outdoor WiFi “hotspot” arena. Makanya, kang Dulah bisa browsing 5000 perak perjam di warnet.

Semua orang, entah di desa atau kota, berhak untuk mengakses informasi sebanyak2nya.

Alih2 melobi pemerintah yg birokrasinya seperti labirin tak berujung, mereka berjuang bergerilya dengan caranya sendiri :

  • Menyediakan akses pengetahuan untuk komunitas, baik secara copyleft dan copywrong
  • Pertumbuhan komunitas
  • Membuat infrastruktur
  • Melatih generasi muda untuk melakukan “pemberontakan radio” (lewat sebuah foto tentang anak sekolah yang bikin tower radio, misalnya) untuk membuat wacana publik
  • Mendirikan antena swadaya

Sekali lagi, semua ini dilakukan swadaya, tanpa bantuan IMF, WB, GoI dan ADB. Sebaliknya pemerintah menggunakan isu ini untk mengemis ke pihak donor. Whateverlah! Dengan cara-cara mandiri kaya gitu, kita bisa jadi kuat. Dan efeknya nanti bisa menekan pemerintah.

Hanya di negeri ini, frekuensi harus mengalami revolusi. Semua harus berjuang ‘merebut’-nya dari pemerintah. Lha wong, informasi itu hak setiap orang. Informasi yang luas itu adalah kemerdekaan. Saya pun berandai2… nanti para petani bisa ber’googling’ ria dari sebuah gubug tepi sawah untuk mencari metode apa yang terampuh untuk membasmi hama. Sambil mengirim email ke istrinya di rumah untuk menyiapkan makan siang..

Namun, apalah daya tanpa dukungan semua pihak termasuk infrastruktur. Okelah, mungkin antena bisa pake wajan, kaleng khong guan ato panci. Tapi workstation-nya yg memadai masih cukup mahal juga. Tapi ini bukan hambatan, justru menantang untuk dipecahkan. Internet murah, kenapa tidak?!

Tapi perjuangan belum selesai. Masih ada frekuensi yang masih terpenjara. Misi selanjutnya : delicense frekuensi 5.2 Ghz dan 5.8 Ghz !!. Frekuensi ini bisa dimanfaatkan untuk jalur backbone, antar ISP barangkali. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan Indonesian Wireless LAN Internet Community silahkan gabung di milist : indoWLI@yahoogroups.com. Never ending strugling, guyz!!

Si Nikon di Bandung

Dago Plaza Malam hari

Sabtu pagi kemaren saya menemani temen ‘sekamar’ saya, Owi, jalan ke Bandung. Dia mau beli tele 18/200 VR.

Malam sebelumnya, kami berencana berangkat jam 5-an, tapi kami ternyata molor. Yah, jadinya bangun jam 6.10 dan setelah serangkaian ritual, berangkatlah kami jam 7.10. Sampai Jatinegara jam 7.45, langsung beli tiket Parahyangan. Sekilas melihat jadwal, ada pemberangkatan pukul 7.52, brarti sekitar 10 menit lagi. Aha..pas skali! Tiket dibeli dan kami pun bersiap di ruang tunggu. Ternyata, setelah tiket dicek lagi jamnya, Wax!! kami berangkat jam 8.45!! Duh! Nunggu setengah jam lagi, kami-pun makan soto di depan stasiun. Secara sekarang para kaki lima kena gusur (pdhl ada soto yg enak, kata Owi), kami makan seadanya aja. Dan tetap Soto. Tapi Soto Surabaya (saya heran, semua daerah punya soto ternyata).

Kereta berangkat tepat waktu. Setelah dianiaya kantuk di dalamnya, kamipun sampai di Bandung pukul 11.30. Begitu turun, kami pun diterima dengan ramah : disapa sejuknya udara. Wah2… kami langsung mengutuk2 Jakarta. Karena kita tiba lebih cepat dari jadwal ketemuan (ketemuan dengan siapa? nanti saya cerita), kita jalan2 dulu ke BIP. Yah, gitu deh. Godaan langsung menyeruak dari segala penjuru :P.

Begitu jam 12.15, kita meluncur ke McD Dago atas (itu hanya meeting point aja, dan nggak beli. I guaranted!). Eh, sory blum cerita. Kemarennya Owi menang auction di fotografer.net. Ada yg jual lensa idamannya : Nikkor 18/200 VR. Maksudnya mo iseng2 aja, ia pasang harga. Eh, nggak tahunya menang. Dan karena sebuah harga diri (di forografer.net, kepercayaan itu modal dasar) maka ia harus teruskan transaksi. Dan karena yg jual orang Bandung, maka pergilah dia (saya kena efek sampingnya) ke sana.

Orangnya (Bapak X) ternyata udah bapak2, dan seems to be a photofreak maniac either. Kita transaksi di dalam McD dan setelah usai (ga beli lho) kita pergi ke atm BCA dianterin dia. Transfer sesuai kesepakatan dan mission accomplished. Tapi Owi pingin hunting foto sekalean. Dan aku pingin makan siomay. Secara kita dah jauh2 ke sini. Tapi lensa ini belum ada filter UV, jadinya kita hunting filternya dulu.

Pertama ke Bandung Electronic City (BEC) di belakang Gramedia. Mall khusus barang2 elektronik ini tergolong cukup lengkap. Namun, setelah diubek2 ternyata pada nggak punya filter. Lensa ini tergolong high class dan langka, jadi ya maklum. Duh, salah siapa punya tele bagus2. Dan ini udah jam 3-an, perut udah nggak ramah. Lalu, kita makan di food point lantai teratas. Lumayan, pas ada even “Lomba Mirip Seleb’. Ampun dah, nggak ada mirip2nya sama sekali! Lucu aja. Kecuali seorang peserta cowok yang keren n cool ( dia mengaku mirip Aji Masaid), dan I think he quite similar (lho kok co ?!)

Balik lagi rencana cari filter, kita jalan ke Braga, naik angkot lagi, jalan arah Braga City Walk, dan sebelumnya persis ada “Kamal Foto”. Kita dikasih tahu si Bapak X tadi. Tempat ini kayaknya pusat kamera dan aksesoris di Bandung. Lengkap dan murah. Dapet juga akhirnya si filter. Dan hunting berikutnya bisa dijalankan : Siomay dan Foto.

Si siomay ini berdasarkan narasumber temennya Owi berada di Cisangkuy belakang gedung sate. Aha! Beruntungnya kami, pas skalian pengen foto2 di gedung tersohor itu. Nyampe di lapangan Gasibu, ternyata ada event besar di sana. Namanya ‘Kemilau Nusantara’. Sebuah event nasional yang menampilkan seluruh adat dan pesona daerah2 di Indonesia. Ini keberuntungan yang kedua. Tele baru bisa langsung dicoba. Setelah foto2 session kita jalan cari siomay.

Cerita berikutnya bukan keberuntungan kami lagi. Si Siomay Cisangkuy (deket Yoghurt Cisangkuy) ini kami cari dengan berdarah2 dan sangat melelahkan. Jalan kaki ke sana kemari nggak ketemu. Harga diri kami pertaruhkan. Katanya belakang Gedung Sate, tapi ‘belakangnya’ itu ternyata tidak sesimple yang dibayangkan. Kami mencari selama sejam lebih dan ternyata ketemu juga! Tempat itu terselip di belakang sebuah taman (dan deket sekali dengen gedung sate..hix) yang bernama taman Lanjut Usia (Lansia) . Entah apa maksudnya. Tapi yg menggelitik adalah taman itu dikelola oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman Bandung. Lha! Sejak kapan mengelola taman itu disamakan dengan merawat kuburan. Oke, orang mati memang ditanam, tapi khan tidak sama dengan pohon. Barangkali karena bisa jadi pupuk.. Tapi khan bukan buat itu.

Yang membuatnya benar-benar bukan sebuah keberuntungan adalah warung Siomay itu ternyata sudah tutup. Karena mungkin kelarisan dan udah habis maka ia tutup sebelum jam 20.00. Waktu kami tiba. Untuk mengobati kekecewaan, jadilah kami makan di warung Yoghurt belakangnya. Lumayanlah, es durian dan yoghurt mocca cukup menghibur perasaan.

Setelah makan, ke lapangan Gasibu lagi, hunting lagi. Nama baik lensa ini dipertaruhkan saat malam hari. Dan hasilnya tidak mengecewakan. Lanjut, kita naek angkot ke Dago. Di sana penuh dengan anak muda generasi sekarang bersuka cita. Bandung kota yang nggak pernah mati. Next, kita ke Braga yang hingar bingar. Saya tidak suka sebenarnya. Dan kami kelelahan. Kami memutuskan pulang saja sekitar jam 1.30. Kami jalan kaki ke arah stasiun Bandung, n untungnya msh ada angkot lewat. Finally, kami menginap di stasiun sampai kereta pertama ke Jakarta ada. Dan itu brarti menunggu hingga pukul 5.00. (Hari Minggu kereta pertama jam 4.00).

Bandung malam hari adalah begitu dingin.

That’s will be all :).

Alakazam ! Thom Erase My Whirling

The Eraser

I confess. I truly couldn’t avoid it. Thom did it. Like the holy healer in a yoga theraphy session. The mystical drug of my freak and dizzy state of mind. I even didn’t think I’m entering the medical treatment. I’m juzt following the nature of sound produced by both patient and doctor at the gloomy hospital so called The Eraser (XL Record, 2006).

Unordinary peacefull of the unordinary drug.

He seems always explore what is unpreditable. What is next will come out. The synthesizer oh no..what they called? Keyboard… whatever, starting rhyme in several tracks and always roaming for several frequency that hold ur breath. Greenwood played it wif brittle mess (The Eraser – 4:55). Like breeze. Or the music of trees. Following the begining of my journey. Again, it almost similar with fourth Radiohead album, Kid A. Groovy bas with monotone touch (Black Swan – 4:49). Everything in its right place, rite? Thom voice, minimalist, soft drum, low section, ‘random’ artificial sound, mostly inchoate, what else?

Tic..tac.. tic.. the seconds of The Clock (4:13) is moving in steady. Acoustic guitars which never changes course till the end try to hypnotize u. Some insects makes clatter to bear ur inner ego. To let it go.

And I like when the rain is singing (And It Rained All Nite – 4:15). Trembling and cold sound followed by Thom singing spirit. Its haunting. C’mon…wake up and get out in the middle of the rain in the middle of the nite. Thom was inspired from his insomnia moment in NY, when the rain chucked down. And he started to write this song. “It was things like that, little pockets of excitement that I’d missed for so long”, he said.

I dancing with my unconsciesnes. It’s so damned beatifull (Analyse – 4:02). Melting with the piano of the avant-garde melody. It was a gentle effort to collect all the shredded in one riff. Follow the chopper tenor of Yorke’s folk. Keep urself dreaming of the dancing queen.

Now, play a ballad to celebrate the peace (Atoms For Peace – 5:13). It is an outstanding bass riff inside. I feel in the cold mountain now. Hear, the eerie sound behind the hill. Hear again, the slicing sound that makes u calm. It’s kinda ironic, isn’it?

I’m eerie to be so happy.

Half empty, haf full. The unfinished beats. The journey isn’t end yet. Now, I’m in the wood. Alone with trees, bushes, cold air and some sense of relief. Im collecting all sign. I search for the light. It is quite dark up here. The strange still whats surrounding me. Im compelling sketches and rendering it with all my patience. It is a temptation (Skip Divided – 3:35).

Can u see the light? I see it a little. I catch the sign. I feel the passion (Harrowdown Hill – 4:38) Huff, I wont pass the last moment. I wont stop playing.
I start understand the rule : “Let digital burbles and woozy drones rhyme”. So, I have to get a cease. My whirling is the way i think. Gotcha! the last puzzle is revealed. The dose is perfect. I think my dream is accomplished (Cymbal Rush – 5:15)

Light.. all rite, i can see it now.

Feel eerie
http://www.theeraser.net/

Newer entries » · « Older entries