Archive for November, 2006

Episode 1 : Percakapan di Sebuah Lembah yang Kau Datangi Pagi Tadi

Sebuah HP berbunyi.

“Halo, Tuhan?”

Suara yang lembut.

“Maaf saya nggak bisa.”

Tertawa kecil.

“Tapi begitu senggang akan saya sempatkan kok…”

“Ya, benar. Akan saya sempatkan buat senggang.”

“Saya benar2. Benar2 saya tidak bisa.”

“Sekarang, saya nggak….”

“Apa?…putus-putus…”

“Ya.. gimana .. halo..nggak jelas.. sinyalnya lagi nggak bagus..”

Suara di seberang memanggil…

“Halo…halooo… apa? Putus-putus…!!”

Suara di seberang memanggil-manggil.

Sebuah tombol warna merah yang ditekan.

Telepon usai.

Saya menggigil.

Suara di dalam

memanggil-manggil.

Freedom of Information

Antena dari kaleng Khong Guan

“Freedom is taken. Freedom is never given”
Wolfgang Coy

Setelah papah Onno berdarah2 memperjuangkannya bersama seluruh rakyat telko dan non telko selama 12 tahun akhirnya ‘tapis’ pemerintah tembus juga. Mulai Januari 2007, frekuensi 2,4 GHz bisa bebas lisensi ! (baca Kompas). Asal tahu aja, nih frekuensi sejak bertahun2 yg lalu ‘dicuri berjamaah’ oleh rakyat utk warnet (yg wireless), RTRW net, dll. Onno dan kawan2 memprakarsai berdirinya RebelNet untuk menyediakan akses internet murah meriah ke lebih dari 1500 sekolah, 2000 cybercafe dan 2500 outdoor WiFi “hotspot” arena. Makanya, kang Dulah bisa browsing 5000 perak perjam di warnet.

Semua orang, entah di desa atau kota, berhak untuk mengakses informasi sebanyak2nya.

Alih2 melobi pemerintah yg birokrasinya seperti labirin tak berujung, mereka berjuang bergerilya dengan caranya sendiri :

  • Menyediakan akses pengetahuan untuk komunitas, baik secara copyleft dan copywrong
  • Pertumbuhan komunitas
  • Membuat infrastruktur
  • Melatih generasi muda untuk melakukan “pemberontakan radio” (lewat sebuah foto tentang anak sekolah yang bikin tower radio, misalnya) untuk membuat wacana publik
  • Mendirikan antena swadaya

Sekali lagi, semua ini dilakukan swadaya, tanpa bantuan IMF, WB, GoI dan ADB. Sebaliknya pemerintah menggunakan isu ini untk mengemis ke pihak donor. Whateverlah! Dengan cara-cara mandiri kaya gitu, kita bisa jadi kuat. Dan efeknya nanti bisa menekan pemerintah.

Hanya di negeri ini, frekuensi harus mengalami revolusi. Semua harus berjuang ‘merebut’-nya dari pemerintah. Lha wong, informasi itu hak setiap orang. Informasi yang luas itu adalah kemerdekaan. Saya pun berandai2… nanti para petani bisa ber’googling’ ria dari sebuah gubug tepi sawah untuk mencari metode apa yang terampuh untuk membasmi hama. Sambil mengirim email ke istrinya di rumah untuk menyiapkan makan siang..

Namun, apalah daya tanpa dukungan semua pihak termasuk infrastruktur. Okelah, mungkin antena bisa pake wajan, kaleng khong guan ato panci. Tapi workstation-nya yg memadai masih cukup mahal juga. Tapi ini bukan hambatan, justru menantang untuk dipecahkan. Internet murah, kenapa tidak?!

Tapi perjuangan belum selesai. Masih ada frekuensi yang masih terpenjara. Misi selanjutnya : delicense frekuensi 5.2 Ghz dan 5.8 Ghz !!. Frekuensi ini bisa dimanfaatkan untuk jalur backbone, antar ISP barangkali. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan Indonesian Wireless LAN Internet Community silahkan gabung di milist : indoWLI@yahoogroups.com. Never ending strugling, guyz!!

Si Nikon di Bandung

Dago Plaza Malam hari

Sabtu pagi kemaren saya menemani temen ‘sekamar’ saya, Owi, jalan ke Bandung. Dia mau beli tele 18/200 VR.

Malam sebelumnya, kami berencana berangkat jam 5-an, tapi kami ternyata molor. Yah, jadinya bangun jam 6.10 dan setelah serangkaian ritual, berangkatlah kami jam 7.10. Sampai Jatinegara jam 7.45, langsung beli tiket Parahyangan. Sekilas melihat jadwal, ada pemberangkatan pukul 7.52, brarti sekitar 10 menit lagi. Aha..pas skali! Tiket dibeli dan kami pun bersiap di ruang tunggu. Ternyata, setelah tiket dicek lagi jamnya, Wax!! kami berangkat jam 8.45!! Duh! Nunggu setengah jam lagi, kami-pun makan soto di depan stasiun. Secara sekarang para kaki lima kena gusur (pdhl ada soto yg enak, kata Owi), kami makan seadanya aja. Dan tetap Soto. Tapi Soto Surabaya (saya heran, semua daerah punya soto ternyata).

Kereta berangkat tepat waktu. Setelah dianiaya kantuk di dalamnya, kamipun sampai di Bandung pukul 11.30. Begitu turun, kami pun diterima dengan ramah : disapa sejuknya udara. Wah2… kami langsung mengutuk2 Jakarta. Karena kita tiba lebih cepat dari jadwal ketemuan (ketemuan dengan siapa? nanti saya cerita), kita jalan2 dulu ke BIP. Yah, gitu deh. Godaan langsung menyeruak dari segala penjuru :P.

Begitu jam 12.15, kita meluncur ke McD Dago atas (itu hanya meeting point aja, dan nggak beli. I guaranted!). Eh, sory blum cerita. Kemarennya Owi menang auction di fotografer.net. Ada yg jual lensa idamannya : Nikkor 18/200 VR. Maksudnya mo iseng2 aja, ia pasang harga. Eh, nggak tahunya menang. Dan karena sebuah harga diri (di forografer.net, kepercayaan itu modal dasar) maka ia harus teruskan transaksi. Dan karena yg jual orang Bandung, maka pergilah dia (saya kena efek sampingnya) ke sana.

Orangnya (Bapak X) ternyata udah bapak2, dan seems to be a photofreak maniac either. Kita transaksi di dalam McD dan setelah usai (ga beli lho) kita pergi ke atm BCA dianterin dia. Transfer sesuai kesepakatan dan mission accomplished. Tapi Owi pingin hunting foto sekalean. Dan aku pingin makan siomay. Secara kita dah jauh2 ke sini. Tapi lensa ini belum ada filter UV, jadinya kita hunting filternya dulu.

Pertama ke Bandung Electronic City (BEC) di belakang Gramedia. Mall khusus barang2 elektronik ini tergolong cukup lengkap. Namun, setelah diubek2 ternyata pada nggak punya filter. Lensa ini tergolong high class dan langka, jadi ya maklum. Duh, salah siapa punya tele bagus2. Dan ini udah jam 3-an, perut udah nggak ramah. Lalu, kita makan di food point lantai teratas. Lumayan, pas ada even “Lomba Mirip Seleb’. Ampun dah, nggak ada mirip2nya sama sekali! Lucu aja. Kecuali seorang peserta cowok yang keren n cool ( dia mengaku mirip Aji Masaid), dan I think he quite similar (lho kok co ?!)

Balik lagi rencana cari filter, kita jalan ke Braga, naik angkot lagi, jalan arah Braga City Walk, dan sebelumnya persis ada “Kamal Foto”. Kita dikasih tahu si Bapak X tadi. Tempat ini kayaknya pusat kamera dan aksesoris di Bandung. Lengkap dan murah. Dapet juga akhirnya si filter. Dan hunting berikutnya bisa dijalankan : Siomay dan Foto.

Si siomay ini berdasarkan narasumber temennya Owi berada di Cisangkuy belakang gedung sate. Aha! Beruntungnya kami, pas skalian pengen foto2 di gedung tersohor itu. Nyampe di lapangan Gasibu, ternyata ada event besar di sana. Namanya ‘Kemilau Nusantara’. Sebuah event nasional yang menampilkan seluruh adat dan pesona daerah2 di Indonesia. Ini keberuntungan yang kedua. Tele baru bisa langsung dicoba. Setelah foto2 session kita jalan cari siomay.

Cerita berikutnya bukan keberuntungan kami lagi. Si Siomay Cisangkuy (deket Yoghurt Cisangkuy) ini kami cari dengan berdarah2 dan sangat melelahkan. Jalan kaki ke sana kemari nggak ketemu. Harga diri kami pertaruhkan. Katanya belakang Gedung Sate, tapi ‘belakangnya’ itu ternyata tidak sesimple yang dibayangkan. Kami mencari selama sejam lebih dan ternyata ketemu juga! Tempat itu terselip di belakang sebuah taman (dan deket sekali dengen gedung sate..hix) yang bernama taman Lanjut Usia (Lansia) . Entah apa maksudnya. Tapi yg menggelitik adalah taman itu dikelola oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman Bandung. Lha! Sejak kapan mengelola taman itu disamakan dengan merawat kuburan. Oke, orang mati memang ditanam, tapi khan tidak sama dengan pohon. Barangkali karena bisa jadi pupuk.. Tapi khan bukan buat itu.

Yang membuatnya benar-benar bukan sebuah keberuntungan adalah warung Siomay itu ternyata sudah tutup. Karena mungkin kelarisan dan udah habis maka ia tutup sebelum jam 20.00. Waktu kami tiba. Untuk mengobati kekecewaan, jadilah kami makan di warung Yoghurt belakangnya. Lumayanlah, es durian dan yoghurt mocca cukup menghibur perasaan.

Setelah makan, ke lapangan Gasibu lagi, hunting lagi. Nama baik lensa ini dipertaruhkan saat malam hari. Dan hasilnya tidak mengecewakan. Lanjut, kita naek angkot ke Dago. Di sana penuh dengan anak muda generasi sekarang bersuka cita. Bandung kota yang nggak pernah mati. Next, kita ke Braga yang hingar bingar. Saya tidak suka sebenarnya. Dan kami kelelahan. Kami memutuskan pulang saja sekitar jam 1.30. Kami jalan kaki ke arah stasiun Bandung, n untungnya msh ada angkot lewat. Finally, kami menginap di stasiun sampai kereta pertama ke Jakarta ada. Dan itu brarti menunggu hingga pukul 5.00. (Hari Minggu kereta pertama jam 4.00).

Bandung malam hari adalah begitu dingin.

That’s will be all :).

Alakazam ! Thom Erase My Whirling

The Eraser

I confess. I truly couldn’t avoid it. Thom did it. Like the holy healer in a yoga theraphy session. The mystical drug of my freak and dizzy state of mind. I even didn’t think I’m entering the medical treatment. I’m juzt following the nature of sound produced by both patient and doctor at the gloomy hospital so called The Eraser (XL Record, 2006).

Unordinary peacefull of the unordinary drug.

He seems always explore what is unpreditable. What is next will come out. The synthesizer oh no..what they called? Keyboard… whatever, starting rhyme in several tracks and always roaming for several frequency that hold ur breath. Greenwood played it wif brittle mess (The Eraser – 4:55). Like breeze. Or the music of trees. Following the begining of my journey. Again, it almost similar with fourth Radiohead album, Kid A. Groovy bas with monotone touch (Black Swan – 4:49). Everything in its right place, rite? Thom voice, minimalist, soft drum, low section, ‘random’ artificial sound, mostly inchoate, what else?

Tic..tac.. tic.. the seconds of The Clock (4:13) is moving in steady. Acoustic guitars which never changes course till the end try to hypnotize u. Some insects makes clatter to bear ur inner ego. To let it go.

And I like when the rain is singing (And It Rained All Nite – 4:15). Trembling and cold sound followed by Thom singing spirit. Its haunting. C’mon…wake up and get out in the middle of the rain in the middle of the nite. Thom was inspired from his insomnia moment in NY, when the rain chucked down. And he started to write this song. “It was things like that, little pockets of excitement that I’d missed for so long”, he said.

I dancing with my unconsciesnes. It’s so damned beatifull (Analyse – 4:02). Melting with the piano of the avant-garde melody. It was a gentle effort to collect all the shredded in one riff. Follow the chopper tenor of Yorke’s folk. Keep urself dreaming of the dancing queen.

Now, play a ballad to celebrate the peace (Atoms For Peace – 5:13). It is an outstanding bass riff inside. I feel in the cold mountain now. Hear, the eerie sound behind the hill. Hear again, the slicing sound that makes u calm. It’s kinda ironic, isn’it?

I’m eerie to be so happy.

Half empty, haf full. The unfinished beats. The journey isn’t end yet. Now, I’m in the wood. Alone with trees, bushes, cold air and some sense of relief. Im collecting all sign. I search for the light. It is quite dark up here. The strange still whats surrounding me. Im compelling sketches and rendering it with all my patience. It is a temptation (Skip Divided – 3:35).

Can u see the light? I see it a little. I catch the sign. I feel the passion (Harrowdown Hill – 4:38) Huff, I wont pass the last moment. I wont stop playing.
I start understand the rule : “Let digital burbles and woozy drones rhyme”. So, I have to get a cease. My whirling is the way i think. Gotcha! the last puzzle is revealed. The dose is perfect. I think my dream is accomplished (Cymbal Rush – 5:15)

Light.. all rite, i can see it now.

Feel eerie
http://www.theeraser.net/

The Reunion of Alienation

“U look my previous star. I wish i had that star”
I believe it . N I believe im not.
“The wind had told me”
The wind told the story to the sea and the rain conveyed it to the grass and the grass grasped all the dew that kizz u at early morning. U were trembling.
“No, no.. i’m juzt too scarry”
No, no…my dear..U have a little eyes so that everybody wont hurt u. It’s an anathema.
“U are always funny”
Im not joking. It’s irony.
I wish i had that star.
“N u seem often smiling”
I like smiling for no reason. If u face urself in front of mirror and what will u get? Get smile instead of unbear cry.
“Life is allowing urself make mistakes. Cry will know which ones to keep”
I smile while cry. Crying smile.
“I hate to love U”

Go Home

“One never goes so far as when one doesn’t know where one is going”
(von Goethe)

Finally, i’m going home. Since it’s not long enough from my last visit, i can’t hold it anymore. It’z okay. Jakarta can’t hold my belonging. It’s not more than a city with lot of money. Great temptation. That’z all. And Jogja is wrapped with My Home Sweet Home purple gift paper theme. And there is where my fatigue will float. Then it sinks. Then it dissapear.

Time is growing slowly in that town. Time is relative, i feel. No matter what are u gonna think, people seem have enough patience for throwing all bad thinking. All bad dream. It has no use for sure. And life is too short to think about it. We’re often driving it to the wrong way. And we don’t bring the map. And if u get to dark strange city, then u know it. It’s too late. People and friends there will remain to help ur dayz well.

Do u believe in immortality? No, and one life is enough for me

(Albert Einstein)

Oh, again. I’m feeling that blue. My blue city. Twilight of peacefully street. When Nite is like a long flowing robe. Star begin prays for hope. The warm from the north mountain. The wind from the south. Lelaa..lela….Everybody sing a long to the ode of Mataram empire. The past bloody glory. It was our man that sing the “Lela Ledhung” Javanese song to cheer our children. To bear our fear with nice deadly defence. Smile is the only clue. Feel the Nite, yeah, do u feel it blue?

On and on, yup… it is the flavour of the air. The flavour of the dancing sunlight over u. What a nice scent of a land that having kissing the first rain. The smell of beautifull rice tree with dew. The smell of burned clays so true. Somebody has to say : Why we have to purchase therapy aroma while it is given freely here? Expect what u’re expecting. It’s alrite. C’mon, lets dancing with the air.


Bahasa Jawa Punah?

Sehabis baca blognya Riwi (http://ndhasatos.wordpress.com/) jadi ingat jogja jaman dahulu. Kala simbah masih langganan Jaka Lodhang. Lalu cucu2nya diomel2in karena males mandi. Dan kretek yang bau menyan menguar ke mana2. Bahkan bertahan lama setelah yang menghisapnya entah ke mana. Sebuah kenangan yang sebenarnya memprihatinkan.
Sejenak kita menatap generasi muda saat ini, apakah masih ada yang menggunakan bahasa Jawa dengan baik dan benar. Kayaknya minim ya. Kalo ada itupun yang level kasar alias ngoko. Tahu kromonya “nesu” buat yang lebih tua? Entahlah..
Barangkali sistem pendidikan yang ada kurang ‘gigih’ menanamkan pentingnya berbahasa Jawa (di sekolah Jawa Tengah dan sekitarnya). Juga keluarga yang setengah2 mendidik anak untuk ngomong kromo alus sama orang yang lebih tua. Boro2 ngomong Jawa, orang tua dari Jawa aja banyak yang ngomong pake bahasa Indonesia dengan anaknya. Coba saya bayangkan… punya anak di Jakarta, sekolah di Al-Azhar atau di Labschool, meskipun istri dari Jawa juga, apa mungkin berkomunikasi pake bahasa jawa di rumah.Mungkin saja.

Ah, mosok bahasa Jawa bisa punah. Barangkali ini pikiran yang nggak2 aja. Semoga memang hanya pikiran saja.

Jakarta Begini Basah

“Man can altering his life by altering his mind”
William James

 

Sekali lagi ini senja yang murung. Setelah berhari – hari mendung menggantung di langit kota ini. Dan aku terkatung2 dari rencana yang melulu tertunda. Hujan mengubah rencana kita.

Maul seneng skali karena hujan ini emang sesuatu yang telah lama dirindukannya. Barangkali emang orang2 di sini sudah butuh permainan baru. Hal yang baru. Rencana baru. Tapi jadinya aku di sini menunda beli makan. Mengelola perut bukan hal yang gampang. Tak apa2. Masih mending dapat atap buat menapis hujan. Hujan menyadarkan kita.

Meski ini bukan bulan juni (sebuah puisi dari Sapardi-bm) tapi hujan emang slalu tabah. Ia juga bijak. Bahkan ia terlampau arif. Selalu saja ada yang menggerutu karenanya. Tapi bukan para petani. Bukan para warga di tegal ato gunungkidul. Bukan orang2 yang sedang kasmaran atau menulis puisi. Selalu ada yang merasa akan datang hal2 yg menyenangkan setelah ini. Semoga.

Anyway, selamat datang musim penghujan.

Welcome to My Garden

It is a hard day. I know from ur pace look. And the sky is grey. I wish u could share load.